Rumah Tunjung: Melanjutkan Tradisi Mata Air

Pada edisi tulisan ini, terdapat sesuatu yang spesial dalam alur pertemuan dengan narasumber. Profilnya aku temukan secara kebetulan setelah merespons tautan yang aku terima di WhatsApp. Tautan itu mengarahkanku pada sebuah grup Facebook INDCI (Info Desa Suci) dengan sebuah postingan berjudul “Ekspedisi 7 Sumber Mata Air Lereng Hyang Argopuro”. Aku memberikan komentar secukupnya, dan tak disangka, responsnya begitu cepat. Aku meninggalkan pesan bahwa ada ketertarikan yang ingin aku sampaikan. Pesan itu dibalas dengan respons “volunteer Rumah Tunjung siap bersinergi bareng.”

Keesokan harinya, terlintas ideku untuk menemui kontak person-nya, dan responsnya juga sigap. Tak menunggu lama, mereka menerima kedatanganku, dan dia menjawab, “Bisa, malam ini, Mas.” Namun, aku memilih untuk tidak datang malam hari. Pikirku, akan lebih segar ngobrol dan mendapatkan foto yang bagus saat cukup cahaya. Dia mengiyakan dan menambahkan nomor WhatsApp agar lebih cepat responsnya ketimbang via Messenger.

Inilah perjumpaanku dengan sosok pendiri Rumah TunjungIrham Fidaruzziar, sekaligus admin yang tanggap merespons pesan via Facebook.

Kami bertemu di home base Rumah Tunjung, yang sekaligus menjadi kedai bagi pengunjung atau tempat berbincang di kala sepi. Hari itu merupakan hari ke-3 bulan Ramadhan, suasananya cukup lengang dengan hanya beberapa pengunjung yang singgah sejenak. Ornamen bambu mendominasi tempat ini, suasananya nyaman sebagai titik temu bagi siapa saja yang ingin ngobrol. Lokasinya berada di area lapangan desa Panti dengan ikon patung dua macan putih yang menghadap ke utara.

Aku membuka percakapan dengan memperkenalkan diri sebagai founder Sakacraft, seorang penggiat komunitas desa yang gemar bertemu orang-orang di desa, terutama mereka yang memiliki prestasi atau keahlian khusus. Setiap pertemuan dengan mereka selalu menghadirkan cerita inspiratif yang menjadi asupan refleksi bagi jiwaku.

Sebagai kalimat pembuka, aku menanyakan kepada Irham tentang gerakan Rumah Tunjung yang fokus pada konservasi 7 mata air. Menurutku, gerakan pelestarian ekologi mata air masih kalah menarik dibandingkan isu sampah, mengingat Indonesia lebih dikenal karena gunungan sampah di berbagai lokasi wisata.


Irham menjelaskan, “Gerakan ini dapat menarik perhatian masyarakat melalui potensi wisatanya. Kita memiliki mata air yang terjaga, areal perkebunan, bahkan pegunungan di sekitar kita. Selain itu, ada juga wisata buah durian yang sudah terkenal lebih dulu.”

Ia melanjutkan, “Dengan diadakannya event tahunan, ekspedisi 7 sumber mata air ini akan menguatkan budaya lokal. Uniknya, ketujuh sumber ini berada dalam wilayah Kecamatan Panti.”

Aku menambahkan informasi bahwa di wilayah utara Jember juga terdapat 7 air terjun, lokasinya berada di kecamatan Panti dan Bangsalsari.

Kecamatan Panti sendiri mencakup tujuh desa, yaitu: Desa Panti, Pakis, Kemungsari Lor, Glagahwero, Suci, Kemiri, dan Serut.

Menurut Irham, “Tradisi penjagaan sumber mata air ini sudah berlangsung lama. Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, tradisi ini mulai terlupakan bahkan ada pihak yang menutup akses menuju mata air.”

Ia menuturkan, “Masih ada tokoh masyarakat yang menjadi juru kunci area mata air. Biasanya, posisi ini diwariskan secara turun-temurun kepada anak bungsu.”

Irham juga membagikan cerita bahwa juru kunci sering menyusuri mata air, mulai dari Sumber Tunjung, Sumber Kemiri, hingga Sumber Suko.

Ketika kutanya apakah mereka berada di bawah naungan organisasi atau diakui secara resmi oleh pemerintah desa, ia menjawab, “Tidak, mereka hanya dikenal oleh masyarakat setempat dan dipercaya secara turun-temurun.”

Aku pun penasaran apakah kepala desa mengetahui hal ini, dan Irham menegaskan, “Tidak, selama ini kepala desa tidak mengetahui keberadaan mereka atau belum berkoordinasi dengan mereka.”

Namun, Irham dan tim memiliki agenda untuk mengadakan pengukuhan secara resmi. Salah satu pencapaian mereka adalah pembangunan gazebo di sekitar mata air dan penyelenggaraan Festival Tunjung yang melibatkan berbagai pihak, termasuk aparatur desa.

Event ini diadakan setiap bulan Maulud, meskipun menurut juru kunci sebaiknya dimulai di bulan Suro sebagai momen pengambilan air dari setiap sumber yang mewakili satu desa. Tahun lalu, seluruh kepala desa dari tujuh desa di Kecamatan Panti hadir dalam festival ini.

Menurut Irham, “Festival ini adalah bentuk ritual pemersatu dari tujuh desa di Kecamatan Panti, sebagai upaya melestarikan budaya, menghormati leluhur, alam semesta, dan Sang Pencipta.”

Dalam perbincangan, Irham juga menyebutkan beberapa tokoh yang menjadi acuan gerakan Rumah Tunjung, di antaranya Pak Akhsan, Mas Hari (pendiri komunitas Aksara), dan Mas Muji (penggiat di World Cleanup Day Indonesia).

Sebagai pendidik di SMA Argopuro, Irham turut mengedukasi siswa Pramuka tentang pentingnya pelestarian budaya sejak usia sekolah.

Mengenai keterhubungan gerakan ini dengan desa wisata, Irham menjelaskan bahwa setiap desa wisata pasti memiliki sumber air yang harus dijaga. Ia berharap, festival tahunan ini dapat memperkuat identitas budaya dan potensi wisata di Kecamatan Panti, seperti halnya Festival Petik Laut di wilayah selatan Jember.

Ia optimis, “Jika pemerintah daerah memberi dukungan penuh, festival ini bisa menarik banyak pengunjung dan berdampak positif pada ekonomi lokal.”

Terkait masalah sampah dari acara besar, Irham menegaskan bahwa mereka telah memiliki mitigasi melalui sosialisasi ke masyarakat dan melibatkan relawan lokal selama acara berlangsung.


Percakapan dengan Irham tidak hanya seputar mata air, tetapi juga meluas ke isu kelestarian lingkungan, pemberdayaan UKM, dan kolaborasi dengan kalangan akademis. Festival tahunan ini menjadi ruang kolaborasi dan pembenahan berkelanjutan.

Wacana pelestarian ini tidak berhenti di kecamatan Panti saja, tetapi juga merambah ke desa lain di Jember, seperti halnya kecamatan Arjasa yang lebih dahulu dikenal sebagai desa budaya karena keberadaan situs Duplang.

Meski perbincangan terasa mengalir tanpa batas waktu, aku harus mengakhirinya karena siang itu ada agenda lain di Desa Suci. Namun, pertemuan pertama ini meninggalkan kesan mendalam tentang dedikasi Irham dan kawan-kawan dalam melestarikan budaya dan lingkungan di Kecamatan Panti.




Lokasi Google Map:

Leave a comment