Dari Perusahaan Agrobisnis ke Petani Jagung di Desa Kertosari

Menjadi petani bukanlah keputusan instan bagi Sahri. Lulusan Agronomi Universitas Jember (UNEJ) tahun 1997 ini memulai perjalanan kariernya di dunia agrobisnis. Pengalaman bekerja di PT. Pioner, Malang dan PT. Monsanto Indonesia, Mojokerto selama empat tahun membentuk relasi, kemampuan leadership, dan etos kerja yang kuat. Namun, kebijakan pengurangan karyawan tahun 2016 mengubah arah hidupnya.

Setelah sempat mencari pekerjaan di Malang tanpa hasil, Sahri sempat merenung dalam pencariannya selama setahun. Pada akhir 2017, ia sadar lamunannya harus disudahi dengan balik lagi ke pengalaman kerjanya di agrobisnis, dipilihnya petani pembenihan jagung. Meskipun usaha awalnya sempat menghadapi kegagalan, seperti hasil panen dengan mitra yang tidak sesuai harapan, Sahri bangkit dan mengambil resiko dengan menjual aset untuk menutup kerugian di tahun 2019, waktu itu ia sudah pindah ke Jember.

Membangun Karier sebagai Petani Jagung

Sahri memilih menyewa lahan yang cocok untuk menanam jagung, memastikan sumber air mencukupi, dan ketersediaan tenaga penggarap. Jagung menjadi pilihan utama karena hanya membutuhkan waktu maksimal 105 hari panen, dengan rata-rata biasanya 90 hari.

Namun, menjadi petani di lahan sewa memiliki tantangan tersendiri, terutama modal. Ia menyadari bahwa menemukan lahan dengan kondisi irigasi yang kurang ideal bisa berdampak pada hasil panen. Meski demikian, ia tetap optimis dan belajar dari pengalaman.

“Kalau dibandingkan kerja di perusahaan, menjadi petani lebih fleksibel. Saya bisa mengatur waktu sendiri, terutama saat anak-anak masih kecil, saya bisa antar-jemput mereka sekolah,” ungkap Sahri.

Kesederhanaan Hidup di Desa

Sahri pindah ke Desa Kertosari, Pakusari, pada tahun 2013 dan merasa nyaman dengan kehidupan sederhana. Baginya, desa memberikan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga. Proses bertani, seperti pemupukan pada usia tanam 14 hari, 25 hari, 35 hari hingga 40 hari, memberikan semangat lebih karena masa masa itulah dia bisa meyakinkan progres hasil panennya sudah didepan mata. Baik itu panen yang maksimal atau kurang optimal.

Meskipun ada keinginan untuk memiliki lahan sendiri, Sahri lebih memilih menyewa lahan untuk saat ini. “Usaha ini soal memperbesar volume tanam. Kalau punya lahan sendiri, saya harus memikirkan balik modal dan perawatan saat lahan tidak dipakai,” jelasnya.

Momen Membanggakan dan Pesan untuk Petani Muda

Sahri merasa bangga ketika usahanya mampu mencukupi kebutuhan keluarga, termasuk pendidikan anak-anaknya. Ia juga menikmati waktu yang lebih banyak bersama keluarga dan memperluas jaringan pertemanan.

Ketika ditanya apa pesan yang ingin disampaikan kepada petani muda, ia berkata, “Belajar dulu melalui perusahaan agar terbentuk karakter sebagai petani dan agropreneur. Setelah itu, jalani sesuai panggilan hati. Bagi saya, yang penting keluarga senang dan cukup.”

Harapan ke depan tinggal di Desa Kertosari

Sahri berharap bisa terus memperbesar kapasitas lahan yang ditanam setiap musim. Dengan pengalaman bertani yang sudah ia miliki, ia ingin berkontribusi pada komunitas di Desa Kertosari. Meski belum tergabung dalam komunitas petani lokal, ia tetap optimis dengan masa depan pertanian di desanya.

Baginya, kesederhanaan hidup di desa adalah sesuatu yang akan ia tekuni hingga tubuhnya tak lagi mampu. “Saya tak berencana pindah ke kota. Bila diberi rejeki lebih, rumah kedua saya di desa bakal juga berfungsi untuk menyimpan alat pertanian, jadi praktis mobilisasnya,” tutup Sahri.

Perjalanan Sahri dari dunia agrobisnis ke kehidupan sebagai petani jagung di Desa Kertosari adalah bukti bahwa perubahan besar bisa membawa keberkahan. Kesederhanaan, fleksibilitas, dan kebahagiaan bersama keluarga menjadi motivasi utama Sahri dalam menjalani kehidupannya. Ini adalah contoh nyata bahwa bekerja di desa tidak hanya soal bertani, tetapi juga membangun kehidupan yang bermakna dan penuh kebahagiaan.


Leave a comment