Menyentuh Realita, Menyelami Kebenaran: Antara Indra, Pikiran, dan Kesadaran

Oleh: Onie Surya

Apa itu kebenaran? Dalam keseharian, kita cenderung menyebut sesuatu sebagai “benar” jika telah dapat ditangkap oleh salah satu dari pancaindra: dapat dilihat, didengar, disentuh, dicium, atau dirasa. Realita menjadi nyata karena ia hadir dan dapat diverifikasi melalui indera kita.

Misalnya, seseorang berkata bahwa bunga mawar itu harum. Maka untuk menyepakatinya sebagai kebenaran, orang lain perlu mencium aromanya secara langsung. Jika ia tidak mencium apa-apa, mungkin karena indera penciumannya terganggu, maka kesimpulannya bisa berbeda. Artinya, kebenaran menjadi relatif terhadap alat penerima yang digunakan: pancaindra.

Namun, bagaimana jika seseorang kehilangan sebagian dari inderanya—misalnya tidak dapat melihat dan mendengar? Apakah itu berarti ia tidak dapat memahami kebenaran? Tentu tidak. Ia masih memiliki indera peraba, penciuman, dan perasa. Selama kesadarannya tetap utuh, ia masih mampu menangkap dunia dari perspektif yang berbeda. Seorang tuna netra misalnya, dapat “melihat” bentuk wajah seseorang melalui sentuhan jari-jarinya, meraba tekstur, memahami ekspresi melalui getaran suara, dan meresapi kebenaran lewat pengalaman indera yang tersisa.

Hal ini menunjukkan bahwa realitas yang kita sebut “benar” sesungguhnya hanyalah potongan kecil dari keseluruhan yang dapat ditangkap oleh satu sudut pandang. Kebenaran jadi terbatas oleh cara pandang dan alat tangkap kita.


Masuk pada teori Darwin, seringkali disalahpahami hanya sebagai asal-usul manusia dari kera. Padahal, jika dilihat lebih dalam, Darwin sedang mengilustrasikan bahwa ada dua bentuk keberadaan dalam diri manusia: yang liar dan yang sadar. Manusia yang tidak mampu mengendalikan pikirannya, emosinya, dan dorongan instingtifnya, maka hidupnya tidak jauh berbeda dari hewan—selalu berubah, bereaksi, dan bergerak berdasarkan impuls. Sementara manusia yang mampu mengarahkan pikirannya, mengelola reaksinya, dan bertindak dengan sadar, barulah layak disebut manusia seutuhnya.
Contohnya, seseorang yang tersinggung karena dikritik lalu membalas dengan amarah menunjukkan reaksi naluriah. Tapi seseorang yang menahan emosinya, lalu merespons dengan tenang dan reflektif, itulah manusia dalam kesadarannya.

Pikiran manusia bekerja pada berbagai tingkat. Pada tingkat pertama, seseorang dituntut hanya untuk melihat kenyataan secara jelas—apa adanya. Namun meskipun sudah terlihat jelas, pemahaman tentang makna realita tetaplah terbatas. Ia hanya sepenggal dari ribuan potongan lain yang mungkin juga benar dari sudut pandang berbeda.

Onie Surya memaparkan gagasannya pada majelis TMMP

Masalah muncul ketika seseorang memegang satu sudut pandang dan menyebutnya sebagai kebenaran mutlak. Ia lalu membentuk doktrin dan memaksakan pemahamannya pada orang lain. Padahal, tidak ada satu pun kebenaran yang bersifat absolut ketika dilihat dari ruang kesadaran yang berbeda-beda. Ini seperti cerita lima orang buta yang masing-masing menyentuh bagian tubuh gajah: satu bilang gajah itu seperti tiang (karena memegang kakinya), satu bilang seperti tali (karena memegang ekornya), satu bilang seperti kipas (karena memegang telinganya), dan seterusnya. Tidak ada yang sepenuhnya salah, tapi juga tidak ada yang sepenuhnya benar. Mereka hanya menggambarkan potongan realitas dari posisi yang terbatas.

Jadi, apakah ada yang bisa kita sebut sebagai kebenaran absolut? Tidak ada—selama kita masih melihat dengan mata yang terbatas dan berpikir dengan pikiran yang terikat sudut pandang.

Namun justru di situlah keindahannya. Kesadaran akan keterbatasan membuat kita rendah hati. Kita belajar mendengar pandangan orang lain, memahami sudut pandang berbeda, dan tidak lagi terjebak dalam penghakiman. Kebenaran sejati bukan untuk dimenangkan, melainkan untuk didekati bersama, dengan jiwa yang terbuka.

Leave a comment