Nabutong, sebuah nama yang kini identik dengan kedamaian dan kesederhanaan, memiliki cerita panjang penuh liku. Semua bermula sekitar 10 tahun yang lalu, ketika Pak Ilham, sang pendiri, bekerja di hutan Lumajang, pengumpul getah Benda. Bekerja penuh resiko dari ketinggian pohon rata-rata sekitar 40 meter dan itu jauh letaknya di kaki gunung Semeru, Pronojiwo.
Bagaimana Awal Berdirinya Nabutong?
“Kalau ditanya soal awal mulanya Nabutong,” ujar Pak Ilham sambil tersenyum, “semua bermula dari sekitar 10 tahun lalu. Waktu itu saya kerja di hutan Lumajang, di sebuah lokasi yang punya tujuh sumber mata air. Tempatnya asik banget. Dalam hati saya berpikir, kapan ya punya lahan sebagus ini?”
Waktu itu, Pak Ilham belum punya bayangan untuk menjadikannya sebagai apa, gambaran itu begitu jelas saja.
“Bayanganku, lahan kayak gitu cocok buat tempat masa tua istirahat, buat angon mentok, atau kegiatan lainnya,” tambahnya santai.
Namun, hidup tak selalu berjalan sesuai rencana. Beberapa waktu kemudian, Pak Ilham harus kembali ke Banyuwangi karena ada kabar dari ibunya.
“Dalam hati, saya khawatir. Takut ada kabar buruk atau ibu sakit. Waktu itu saya cuma punya uang Rp2 juta di kantong.”
Sesampainya di Banyuwangi, ia mendengar kabar bahwa ibunya punya hutang, bukan untuk dirinya, tapi karena membantu saudara yang punya hajatan.
“Berapa jumlahnya, Bu?” tanya Pak Ilham waktu itu.
Hutang itu ternyata hanya sekitar Rp750 ribu, dan langsung dilunasi oleh Pak Ilham. Ditambah dengan pengeluaran lainnya selama di Banyuwangi.
“Setelah itu, saya tanya ke ibu, ada lagi nggak yang belum dibayar? Ibu bilang nggak ada. Akhirnya, duit saya sisa Rp300 ribu.”
Pak Ilham ingat pesan orang tua jaman dulu, “Ketika kita menyenangkan orang tua, di situlah surga kita”
Dan inlah awal cerita bagaimana Nabutong adalah salah satu perwujudan dan keyakinan dia untuk memuliakan leluhur.

Keajaiban dari Modal Kecil
Dari situ, perjalanan hidup Pak Ilham seperti ada yang menuntun. Dimulai dari di jemputnya oleh istri ke Banyuwangi untuk pulang ke Jember dan perjumpaan-perjumpaan berikutnya.
‘Sesampainya di Jember, aku bertemu temanku, Sugik, yang sedang butuh modal untuk memulai usaha jagung. Dalam hati aku mikir, gimana mau bantu orang, duit ku cuma sisa Rp300 ribu.”
Selang kemudian, tiba-tiba ada kabar mengejutkan: orang yang pernah hutang ke Pak Ilham datang melunasi uang sebesar Rp1,7 juta.
“Jadi, duit ku yang tadinya tinggal Rp300 ribu tiba-tiba jadi Rp2 juta lagi. Itu kan kayak kebetulan banget,” kata Pak Ilham sambil tertawa.
Kemudian, ia mendatangi seorang pengusaha jagung bernama Pak Munir untuk bertanya apakah ia bisa memulai usaha dengan modal tersebut.
“Pak Munir bilang, ‘Nggak bisa, uang segitu cuma cukup dapat 2 ton jagung, nggak bakal hasil.’ Tapi nggak lama kemudian, Pak Munir berubah pikiran. Dia bilang, ‘Ya sudah, saya kasih kamu 4 ton dulu, bayar sisanya belakangan.’”
Tanah Nabutong yang Tak Disangka
Malam harinya, Pak Ilham bertemu besannya dan iseng bertanya soal tanah.
“Eh, ada tanah dijual nggak di sekitar sini?” Besannya langsung menunjuk lokasi yang sekarang jadi Nabutong. “Gayamu kayak orang punya duit aja,” canda besannya waktu itu.
“Awalnya dia bilang harganya Rp75 juta. Saya langsung kaget. Wah, nggak sanggup kalau segitu,” ujar Pak Ilham. Tapi kemudian, ia baru tahu bahwa tanah itu sebenarnya hanya seharga Rp7,5 juta. Meski begitu, ia tetap belum punya uang untuk membelinya.
“Aku sempat nawar Rp3,5 juta tanpa surat, tapi waktu itu duitku kan masih diputar untuk usaha jagung. Jadi aku cuma semoyo (menjawab dengan ketidakpastian).”
Selang beberapa minggu, usaha jagungnya berhasil besar. Sugik, temannya, membantu mengelola hasil panen hingga modalnya terkumpul menjadi Rp7,5 juta. Besannya pun kembali dan menawarkan tanah itu.
“Dia bilang, – ‘Pak Ilham, bayar aja dulu berapa yang kamu punya sekarang.’ Akhirnya saya kasih DP Rp2 juta. Waktu itu aku urus surat-suratnya kemudian.”
“Waktu surat-surat selesai, dia malah minta sisanya cuma Rp1,5 juta. Jadi tanah itu resmi saya dapatkan dengan harga Rp3,5 juta. Itu bener-bener keberuntungan,” kenangnya.
Apa yang menjadi inspirasi nama Nabutong?
Nama Nabutong sendiri datang dari sebuah mimpi. “Waktu itu aku capek banget dan ketiduran. Antara sadar-tidak, aku lihat sosok mbah buyut perempuan yang lusuh, bolak-balik sambil ngomong, ‘Buntang-buntong, buntang-buntong,’” ujar Pak Ilham sambil terkekeh.
Setelah terbangun, ia merenungkan arti mimpi itu.
“Aku barusadar, tanah ini memang seperti ‘tanah buntu.’ Dari arah utara terputus jalan, dari selatan terputus saluran air. Jadi, saya putuskan untuk menamai lahan ini Nabutong, sesuai petunjuk itu.”
Dukungan dan Berkah dari Banyak Pihak

“Banyak orang yang berjasa dalam membangun Nabutong,” cerita Pak Ilham.
Salah satunya adalah Pak Didit, yang membantu membangun pondok, pagar dan jembatan bambu, dan merawat tanaman. “Waktu itu sepi banget, nggak ada listrik, nggak ada apa-apa. Tapi kami tetap semangat.
Kemudian, datanglah Onie Surya, seorang teman lama yang memberikan banyak gagasan tentang spiritualitas dan kehidupan. “Onie datang dengan modal omongan saja, tapi idenya luar biasa,” ujar Pak Ilham sambil tertawa.
Aku menambahkan “Aku juga sempat heran dimana Onie waktu itu lama nggak online, biasanya masih exsis di FB dengan live streamnya Sobat Penerbang’
Pak Ilham melanjutkan “Boleh di bilang tiap hari ngaji kehidupan, kalo sekarang dia bilang gak dapat apa apa yo kebacut, lantas dengan siapa dia curhat keilmuannya? wong sementara di rumahnya sepi”
“Kalau ingat waktu itu, sejak awal dibangunnya gubuk itu – hidupku sendiri selama 2,5 tahun. Banyak perenungan dan angan-angan yang aku sadari tentang memaknai Ghoib. Apabila semua angan-angan, gagasan itu terealisasi – itu namanya wujud. – Menghadirkan yang ghoib -” Begitu pesan Onie kepada pak Ilham.
Aku menambahkan bagaimana aku mengenal Onie dari celotehnya “Dia itu konsisten dengan perenungan dan gagasannya, meski secara lisan dia ngomong ke sana-sini namun informasi itu kadang terputus disatu sisi juga ada perbedaan perspektif, misalnya soal konsep kepasrahan yang bukan berarti nggak ngapa-ngapain, namun demikian penjabarannya baru terungkap dari hasil interviewku yang sudah aku tulis. – barulah aku mendapat gambaran luasnya.”
Kedatangan pengunjung Nabutong
Pak ilham memperdalam “Debat kami berdua lebih seru bahkan, dibanding saat debat dengan anggota Pas Orhiba misalnya. Sebab aku butuh bukti, om – Malah dulu perspektif ghoib itu kayak genderuwo, Jin, memedi – itu kan image yang ditayangkan di TV – termasuk atraksi sulap aku anggap ghoib” – Disitulah banyak pertanyaan, ketika itu ada perdebatan di majelis yang lain. Aku sih hanya mendengar saja, meski aku sudah paham dalam hati”
Adakah inisitif untuk mengundang rekan lain untuk meramaikan Nabutong yang sudah layak untuk dijadikan tempat singgah untuk orang banyak?

“Ya aku ingat satu-satu – pertama Sdr. Dikin, kedua anak kecil yang sekarang sudah sekolah, adalagi pak Buamin yang butuh teman curhat ringan-ringan, seperti cerita sekilas tentan nabi-nabi. Kemudian teman lamaku ini pasti hadir, pak Munir. Ada lagi pak Sugik – dia hutangnya juga banyak, hahaha – aku titip pesan nginep di sini aja sendirian – setengah bulan gak pulang dia. Alhamdulilah di kasih jalan.”
“Setelah itu ada grup KAJ, ada pak Sam. Ada grup PAS yang kemudian dibentuk”
Awal mula aku datang di sana, ketertarikanku ada pada whiteboard, nah inilah yang menjadi media atas buah pikir kita sebisanya ditulis, agar ingat atau jadi rekaman – sehingga bukan sekedar omongan klobot. – tambahku
Dalam dialognya dengan pak Ilham, Onie juga terlihat dari gagasan yang kemudian mengkerucut menjadi tempat Wisata Edukasi.
“Kalo itu diseret lebih luas, aku pikir bisa menjadi destinasi Wisata Desa – potensi desa di sini luas banget, aku perhatikan dari desa ini aja banyak orang dapat survive, karena saling keterikatan. Dari yang gak punya pekerjaan, ada saja yang dikerjakan – sampai yang tergelincir hutang pun dapat menemukan solusinya di sini.” tambahku ke Pak Ilham.
“Bagus ini pak, diteruskan menjadi basecamp – nanti kita aturlah lebih lanjut untuk diskusi wisasta desa ini“
“Siap” tukas pak Ilham – semuanya itu ada pada ide dari saudara-saudara.
“Di desa Panti ini kan terkenal dengan Tancak, ada tiga setahuku?” tanyaku sambil melihat cangkir kopi yang mulai kosong.
“Lebih,” koreksi pak ilham – “Cuma memang sulit aksesnya, itu lokasinya di Kaliputih – lewatnya dari atas. Ada 7 tancak. Sumber ada dari Timur dan Barat, seperti membentuk belahan.”
Kami menyudahi pembicaran dengan seruputan terakhir, termasuk pandangan pak Ilham tentang seleksi, yang belum bisa aku tuliskan disini – juga burung dara yang sekarang kesepian ditinggal majikannya.
Salam Sejahtera, Sehat, Hidup
Lokasi Google Map:
Masuk