Ngopi di Depo: Antar Paket, Literasi, dan Kun Fayakun

Senin sore menjelang magrib. Aktivitas hari ini terasa padat merayap—sejalan dengan lengsernya mentari. 

Di tengah rutinitas mempersiapkan dan mengantarkan paket, aku sempat mengecek agenda yang sebelumnya sempat kuposting di grup Pas-Orhiba. Rupanya ada agenda asik —ngobrol santai bersama penggiat literasi.

Tapi ya, begitulah… rutinitas kadang membuat dihadapkan pada tenggat waktu. Hingga akhirnya sekitar pukul lima sore, aku meluncur ke Depo.

Sesampainya di sana, aku sudah melihat wajah-wajah akrab: Onie, Evie, Aris, dan tentu saja, penguasa Depo—Andik. Mereka, seperti biasa, tak bisa lepas dari kopi hitam dan tembakau linting yang menjadi pengantar percakapan panjang.

Belum lama duduk, Onie menyela,

> “Gimana Mas Aan… Ada strategi apa kok sore ini mau ngumpul?”

Aku tersenyum. Sebenarnya aku tidak punya agenda khusus, hanya merasa penting untuk kembali mereview apa yang selama ini kita kerjakan: kegiatan membaca, menulis, menganalisa, dan memberi opini lintas perspektif—terutama kearifan lokal.

“Seharusnya,” sahutku, “setiap tulisan yang tercecer bisa kita arsipkan secara rapi, misalnya di blog ini. Supaya suatu hari mudah diakses dan tidak hilang begitu saja.”

Kupikir, kebiasaan itu akan menghasilkan keahlian. Dan kebiasaan merekam pikiran lewat tulisan adalah langkah kecil menuju hal besar. Tak berselang lama paparanku terhenti, mereka bertiga pamit merapat ke rumah masing-masing.

Menjelang malam, obrolan kami mengalir ke arah yang lebih dalam. Andik membuka kajian semalam—membahas ayat terakhir dari surat Yasin: “Kun Fayakun”. Aku diam mendengarkan…

“Manusia berkendak, istimewanya Allah sudah menyediakannya jauh sebelum penciptaan manusia,” begitu katanya. Kuncinya ada dipengulangan, repetisi terkoneksi pada yang Fayakun.

Aku mengangguk pelan. Bukan sekadar pemahaman, bagiku ini adalah teknologi kesadaran hidup—bagaimana afirmasi positif bukan hanya teori, kali ini kajian itu menjadi panduan nyata. Bukan pemahaman filsafat yang terkadang absurd, ini seperti tertampar membangkitkan kesadaran spiritual.

Waktu berjalan cepat. Kulirik jam tangan. Hampir pukul delapan. Aku segera berpamitan—paket J&T terakhir menunggu untuk diberangkatkan.

Ngopi di Depo hari ini bukan hanya tentang kopi atau lintingan tembakau. Tapi tentang arah, tentang arsip, tentang niat kehendak-berkehendak yang ingin dilanjutkan pada pertemuan berikutnya. 

Sedikit percik pemahaman tentang Kun Fayakun, yang mungkin bisa menjadi bahan bakar langkah selanjutnya. Masuk… Masuk… Masuk…

Leave a comment